Gaya Kepemimpinan Presiden Indonesia
1.Soekarno
Soekarno memulai karirnya sebagai pemimpin organisasi pada
usia 26 tahun, tepatnya 14 Juli 1927. Pada saat itu beliau memimpin sebuah
partai politik yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mempunyai arah
perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia. Hal ini mengakibatkan para pimpinan PNI
termasuk Soekarno ditangkap dan diadili oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Tetapi pada saat di dalam proses pengadilan Soekarno malah menyampaikan
pandangan politiknya mengenai gugatannya terhadap pemerintahan yang terkenal
dengan Indonesia menggugat
Sikap Soekarno sebagai pemimpin bangsa pada saat itu sangat
menekankan pentingnya persatuan dalam nasionalisme, kemandirian sebagai sebuah
bangsa dan anti pejajahan. Hal ini tercermin di dalam pidato-pidato beliau
dalam menggelorakan semangat revolusi secara besaran-besaran untuk lepas dari
belenggu imperialisme. Akhirnya Soekarno berhasil menggelorakan semangat
revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun
belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep
“berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya
berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas
utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan
ketidakberdayaan (neokolonialisme).
Sikap tersebut mengakibatkan Belanda membubarkan organisasi
PNI sehingga Soekarno dan teman
seperjuangannya bergabung dengan Partindo pada bulan Juni tahun 1930. Setelah
melalui perjuangan yang panjang bahkan beliau pernah dipenjara kembali oleh
Belanda namun tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Pada akhirnya, pada tanggal
17 Agustus 1945 Soekarno bersama Muhammad Hatta berhasil memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia menandai berdirinya negara yang berdaulat.
Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar
(ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada
1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Setelah pemerintahan berjalan di tangan bangsa Indonesia,
Soekarno memimpin pemerintahan dan mengalami berbagai fase dalam
pemerintahannya. Fase pertama pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1959)
diwarnai semangat revolusioner, serta dipenuhi kemelut politik dan keamanan.
Belum genap setahun menganut sistem presidensial sebagaimana yang diamanatkan
UUD 1945, pemerintahan Soekarno tergelincir ke sistem semi parlementer.
Pemerintahan parlementer pertama dan kedua dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan
Sjahrir. Pemerintahan Sjahrir dilanjutkan oleh PM Muhammad Hatta yang merangkap
Wakil Presiden.
Kepemimpinan Soekarno terus menerus berada di bawah tekanan
militer Belanda yang ingin mengembalikan penjajahannya,
pemberontakan-pemberontakan bersenjata, dan persaingan di antara partai-partai
politik. Sementara pemerintahan parlementer jatuh-bangun. Perekonomian
terbengkalai lantaran berlarut-larutnya kemelut politik.
Ironisnya, meskipun menerima sistem parlementer, Soekarno
membiarkan pemerintahan berjalan tanpa parlemen yang dihasilkan oleh pemilihan
umum. Semua anggota DPR (DPRGR) dan MPR (MPRS) diangkat oleh presiden dari
partai-partai politik yang dibentuk berdasarkan Maklumat Wakil Presiden, tahun
1945. Demi kebutuhan membentuk Badan Konstituante untuk menyusun konstitusi
baru menggantikan UUD 1945, Soekarno menyetujui penyelenggaraan Pemilu tahun
1955, pemilu pertama dan satu-satunya Pemilu selama pemerintahan pada saat itu.
Pemilu tersebut menghasilkan empat besar partai pemenang yakni PNI, Masjumi, NU
dan PKI. Usai Pemilu, Badan Konstituante
yang disusun berdasarkan hasil Pemilu, mulai bersidang untuk menyusun UUD baru.
Namun sidang-sidang secara marathon selama lima tahun gagal mencapai
kesepakatan untuk menetapkan sebuah UUD yang baru.
Menyadari bahwa negara berada di ambang perpecahan, Soekarno
dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya;
membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966,
Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya
sebagai presiden seumur hidup. Pemerintahan parlementer yang berpegang pada UUD
Sementara, juga jatuh dan bangun oleh mosi tidak percaya. Akibatnya, kondisi
ekonomi kacau.
Pada fase kedua kepemimpinannya, 1959-1967, Soekarno
menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPRGR dan MPRS diangkat untuk
mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung
Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi
NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang
mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik
USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Namun di tengah
tingginya persaingan politik Nasakom itu, pada tahun 1963, bangsa ini berhasil
membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda.
Tahun 1964-1965, Soekarno kembali menggelorakan semangat
revolusioner bangsanya ke dalam peperangan (konfrontasi) melawan Federasi
Malaysia yang didukung Inggris. Sementara, dalam kondisi itu, tersiar kabar
tentang sakitnya Soekarno. Situasi semakin runyam tatkala PKI melancarkan
Gerakan 30 September 1965. Tragedi pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat
tersebut menimbulkan situasi chaos di seluruh negeri dan menyebabkan kondisi
politik dan keamanan hampir tak terkendali.
Menyadari kondisi tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. Ia mengangkat Jenderal
Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang
bertugas mengembalikan keamanan dan ketertiban. Langkah penertiban pertama yang
dilakukan Soeharto, sejalan dengan tuntutan rakyat ketika itu, membubarkan PKI.
Soekarno, setelah tragedi berdarah tersebut, dimintai pertanggungjawaban di
dalam sidang istimewa MPRS tahun 1967. Pidato pertanggungjawabannya ditolak.
Kemudian Soeharto diangkat selaku Pejabat Presiden dan dikukuhkan oleh MPRS
menjadi Presiden RI yang Kedua, Maret 1968.
2. Soeharto
Diawali dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966 kepada Letnan Jenderal Soeharto, maka Era Orde Lama berakhir
diganti dengan pemerintahan Era Orde Baru. Pada awalnya sifat-sifat
kepemimpinan yang baik dan menonjol dari Presiden Soeharto adalah
kesederhanaan, keberanian dan kemampuan dalam mengambil inisiatif dan
keputusan, tahan menderita dengan kualitas mental yang sanggup menghadapi
bahaya serta konsisten dengan segala keputusan yang ditetapkan.
Gaya Kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari
gaya kepemimpinan Proaktif-Ekstraktif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya
kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat tantangan sebagai sesuatu
yang berdampak positif serta mempunyal visi yang jauh ke depan dan sadar akan
perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Tahun-tahun pemerintahan Suharto diwarnai dengan praktik
otoritarian di mana tentara memiliki peran dominan di dalamnya. Kebijakan
dwifungsi ABRI memberikan kesempatan kepada militer untuk berperan dalam bidang
politik di samping perannya sebagai alat pertahanan negara.
Demokrasi telah ditindas selama hampir lebih dari 30 tahun
dengan mengatasnamakan kepentingan keamanan dalam negeri dengan cara pembatasan
jumlah partai politik, penerapan sensor dan penahanan lawan-lawan politik.
Sejumlah besar kursi pada dua lembaga perwakilan rakyat di Indonesia diberikan
kepada militer, dan semua tentara serta pegawai negeri hanya dapat memberikan
suara kepada satu partai penguasa Golkar.
Bila melihat dari penjelasan singkat di atas maka jelas
sekali terlihat bahwa mantan Presiden Soeharto memiliki gaya kepemimpinan yang
otoriter, dominan, dan sentralistis. Sebenarnya gaya kepemimpinan otoriter yang
dimiliki oleh Almarhum merupakan suatu gaya kepemimpinan yang tepat pada masa
awal terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.
Hal ini dikarenakan pada masa itu tingkat pergolakan dan
situasi yang selalu tidak menentu dan juga tingkat pendidikan di Indonesia
masih sangat rendah. Namun, dirasa pada awal tahun 1980-an dirasa cara memimpin
Soeharto yang bersifat otoriter ini kurang tepat, karena keadaan yang terjadi
di Indonesia sudah banyak berubah.
Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat
negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh
kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaannya Soeharto
menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya.
Pada masa Orde baru, gaya kepemimpinannya adalah
Otoriter/militeristik. Seorang pemimpinan yang otoriter akan menunjukan sikap
yang menonjolkan “keakuannya”, antara lain dengan ciri-ciri :
Kecendurangan memperlakukan para bawahannya sama dengan
alat-alat lain dalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang
menghargai harkat dan maratabat mereka.
Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian
tugas tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan
para bawahannya.
Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan
keputusan.
3.Susilo Bambang
Yudhoyono
Gaya kepemimpinan SBY apabila ditinjau dari gaya
kepemimpinan otoriter, seorang SBY merupakan sosok pemimpin negara yang sedikit
menganut gaya kepemimpinan otoriter. Walaupun dulu adalah otoriter karena
beliau adalah seorang militer namun sekarang adalah seorang sipil karena
masih menjabat sebagai presiden.
SBY lebih dominan menganut gaya kepemimpinan demokrasi
sesuai dengan asas demokrasi yang dianut oleh negara ini (Indonesia). Dari
proses pengambilan kebijakan, SBY tidak melakukannya sendiri namun melalui
persetujuan pihak-pihak yang berwenang dan terkait misalkan DPR, MPR, MA dan
lain-lain.
Namun dalam kondisi negara krisis peran SBY untuk
menganut gaya kepemimpinan otoriter sangatlah diperlukan karena pada kondisi
tersebut diperlukan tindakan yang cepat dan tepat. Namun dalam proses
kepemimpinannya banyak sekali masalah masalah yang timbul terutama masalah
korupsi di Indonesia yang sudah mendarah daging yang sulit diberantas dan
merupakan tugas wajib bagi seorang pemimpin untuk menyelesaikannya.
SBY merupakan sosok yang kurang tegas, sebenarnya gaya
kepemimpinan demokratis sangatlah baik dan kita bersyukur tidak mempunyai pemerintah
yang otoriter seperti ―Yang Dipertuan Agung atau pemimpin yang minta disembah
dan lain-lain. Kurang tegasnya ini adalah tentang penegakan hukum, banyak
pejabat-pejabat yang bermasalah dengan hukum dan kemudian bersembunyi dan
berlindung pada SBY (masuk parpol yang didukung SBY). Mungkin SBY tidak tegas
karena beliau terpengaruh oleh filsafat Jawa yaitu rasa ―pekewuh‖ atau istilah kita
adalah rasa sungkan sehingga kita dalam memperlakukan lebihnya mengadili teman
sejawat timbul perasaan tidak enak atau tidak etis apabila mengadili teman
sendiri. Rasa inilah yang harus dihilangkan oleh seorang pemimpin.
Pemimpin harus bisa bersikap dan bertindak objektif
dan tegas demi kepentingan publik. Sebenarnya ada lembaga-lembaga yang berdiri
dalam kepemimpinan SBY untuk mengatasi permasalahan yang ada dan merupakan
langkah yang baik. Misalkan KPK, sebuah lembaga yang mengatasi masalah korupsi.
KPK ini memang saat pertama kali ada, banyak sekali kasus kasus korupsi yang
terbongkar namun ironinya dari yang terungkap sangatlah sedikit dari jumlah
kasus korupsi yang terungkap dan belum lagi usaha-usaha dari para oknum untuk
melemahkan KPK dengan menjerat para pemimpin KPK dalam suatu kasus. Hal
ini menujukkan bahwa di era kepemimpinan SBY banyak sekali lembaga-lembaga yang
berdiri namun penegakan sangat kurang. Serta dapat menarik sisi positif dari
segi kepemimpinan SBY bahwa SBY adalah tipe pemimpin yang baik dalam
mentransformasikan gaya kepemimpina otoriter ke demokratis. Apabila kita tarik
pada masa lampau misalkan Alm. Mantan Presiden Suhato dimana Suharto dulunya
adalah orang militer namun pada saat menjadi presiden beliau masih tetap
menggunakan sikap otoriternya. Dari sini dapat disimpulkan ada beberapa kondisi
dimana seorang pemimpin tidak harus turun tangan memberikan instruksi yang
harus dikerjakan kepada anggotanya dikarenakan masalah memerlukan pemecahan
dengan waktu yang singkat dan anggota yang sudah ahli di bidang tersebut, dalam
kasus ini yaitu bidang pertahanan.
Demokratis SBY sebagai pemimpin yang mampu mengambil
keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari
anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan
tidak ―decisive‖ (tegas).
Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi
selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai
buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik. Secara garis
besar gaya kepemimpinan SBY adalah demokratis sesuai dengan asas demokrasi yang
dianut oleh negara ini (Indonesia). Dari proses pengambilan kebijakan, SBY tidak
melakukannya sendiri namun melalui persetujuan pihak-pihak yang berwenang dan
terkait misalkan DPR, MPR, MA dan lain-lain. Namun dalam kondisi negara krisis
peran SBY untuk menganut gaya kepemimpinan otoriter sangatlah diperlukan karena
pada kondisi tersebut diperlukan tindakan yang cepat dan tepat.
4.Joko Widodo
Gaya kepemimpinan seorang Joko Widodo memag tergolong unik,
sebab Jokowi begitu orang orang menyebutkan memiliki sebuah gaya kepemimpinan
yang lain dari pada yang lain dimana semua keputusan keputusan yang diambilnya
cenderung nyeleneh namun mengandung sebuah hal yang penting dalam masyarakat.
Jokowi hadir begitu cepat sosok yang begitu dinanti nanti pada jaman seperti
sekarang ini, dimana banyak masyarakat yang sudah bosan dengan kondisi
kepemimpinan sekarang ini setelah sepeninggal presiden Abdurrahman Wachid.
Banyak masyarakat yang menginginkan sebuah perubahan dalam hal kepemimpinan
bangsa ini, dan Jokowi pun Hadir ditengah tengah kita dengan citra sebuah
pemimpin yang sangat peduli dengan kaum kaum kelas bawah dan sangat peduli
dengan srakyat kecil, banyak masyarakat Indonesia menggantungkan perubahan
Bangsa ini pada sosok Joko Widodo. Hal ini lah yang membuat nama seorang Jokowi
yang memulai karirnya menjadi Wali Kota Surakarta menjadi sangat terkenal
hingga menjadikannya sebuah pemimpin besar di era ini.
Konsep kepemimpinan Jokowi adalah servant : dimana dalam
konsep kepemimpinan ini pemimpin adalah menjadi seorang pelayan, dimana yang
dimaksud adalah Jokowi secara langsung terjun kedalam kehidupan masyarakat dan
mengetahui bagaimana nasib dan keluhan ynag mereka alami saat ini. Dimana
disini Jokowi secara tidak langsung mecritrakan bahwa “saya adalah pelayan
anda” dengan motto bekerja dan melayani.
Konsep ini lah yang dipegang teguh oleh Jokowi sehingga
banyak orang mengidolakan Joko Widodo sehingga beliau mampu menjadi pemimpin
no. 1 di Negara Indonesia sekarang ini. Jokowi sangat cinta terhadap
masyarakat, hal ini terbukti bahwa dia selalu berusaha untuk dekat bahkan menyamakan
diri dengan masyarakat, bahkan jokowi tidak mebutuhkan adanya Vorijder ditengah
kemacetan Jakarta, bahkan saat menjadi wali kota Surakarta Jokowi tidak
menerima mobil jabatannya dan menggunakan mobil buatan Esemka, hal ini
menunjukan betapa dekatnya Jokowi dengan kondisi masyarakat saat ini.
Jika ditinjau dengan menggunakan analisa
Transformasional-Transaksional dimana berisi tentang hirarki kebutuhan kaum
bawah yang lebih rendah dalam hal rasa aman, kebutuhan fisik, dan berafiliasi,
dan kabutuhan kaum bawah untuk sebuah hirarki yang lebih tinggi dimana
dirindukannya sebuah transformasi atau perubahan yang bersar dan cukup
signifikan. Dari analisa ini konsep kepemimpinan Jokowi sudah termasuk dalam
analisa Transformasional dan Transaksional dimana Jokowi selalu mementingkan
kebutuhan rakyatnya terutama kaum bawahan (rakyat kecil) yang banyak dari hak
haknya yang tertindas. Jokowi juga memberikan sebuah perubahan perubahan dan
terobosa terobosan yang menjanjikan adanya sebuah transformasi yang telah lama
diidam idamkan oleh khalayak luas. Oleh karenanya banyaknya dukungan yang
mengarah pada Jokowi saat ini adalah sebuah wujud kontribusi mereka terhadap
perubahan yang mereka inginkan atas Negeri kita tercinta ini Republik Indonesia
Menelaah Kepemimpinan Soekarno